Selasa, 24 November 2009

WANITA PERTAMA PENAKLUK EVEREST MASUK RSJ

FPTI News, Malang benar nasib Clara Sumarwati (44). Pendaki gunung asal Minggiran, Sleman, DIY yang pernah membawa nama Indonesia hingga ke puncak gunung tertinggi di dunia, Puncak Everest, kini terisolisir dari dunia luar lantaran harus mendapat pengobatan di bangsal perawatan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof dr Soeroyo Kota Magelang.

Wanita yang diyakini sebagai perempuan pertama Asia Tenggara yang berhasil menapak di ketinggian 8.848 meter itu mengalami gejala paranoid.

Direktur Medik dan Keperawatan RSJ Prof dr Soerojo Magelang Bella Patriajaya mengatakan, Clara adalah pasien kambuhan yang sudah tiga kali ini menjalani perawatan di RSJ. Gangguan jiwa yang dideritanya beberapa kali kambuh karena dia diduga tidak rutin mengonsumsi obat.

"Namun, sejauh ini, kami belum bisa menyimpulkan faktor pemicu apa yang menyebabkan Clara mengalami gangguan jiwa," kata dia, Senin (12/10/2009).

Clara kali pertama dirawat pada tahun 1997 dan masuk lagi pada tahun 2000. Untuk yang ketiga kalinya, keluarga Clara memasukkan kembali ke RSJ pada 30 Juni 2009. Dia dirawat di bangsal W3 atau Wisma Drupadi.

Dokter yang merawat Clara, dr Hariyono Padmosudiro, menambahkan gejala gangguan kejiwaan pasiennya memperlihatkan kekhawatiran dan ketakutan yang berlebih. Dia selalu diliputi rasa curiga yang tidak berdasar dan tidak realistis pada lingkungan bahkan akibat ketakutannya itu dia cenderung bersikap mengganggu lingkungan sosialnya.

"Meskipun orang lain tidak ada apa-apa, tetapi dianggapnya mau mencelakakannya," jelas dia.

Pemicu tekanan jiwa dari wanita yang sukses mendaki Everest di tahun 2006 setelah dua tahun sebelumnya gagal itu besar kemungkinan karena kekecewaan atas respon sosial lingkungannya.

Orang-orang di sekitarnya dianggap tidak menghargai perjuangannya membawa nama harum bangsa Indonesia. Perasaan itu dipendam dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga menyebabkan frustasi berkepanjangan.

"Berdasarkan data yang kami miliki tidak ada faktor keturunan. Rasa kecewa sebagai pencetus meskipun ada latar belakang sebelumnya berupa mental yang rapuh," katanya.

Hariyono menambahkan setelah sekitar dua pekan mendapat perawatan, secara medis kondisi Clara saat ini membaik. Dia sudah bisa berinteraksi dengan lingkungannya secara bagus. Bahkan saat ditemui wartawan di bangsal perawatannya, Clara mampu menuturkan kisah pendakiannya di Everest secara runut.

Lulusan Universitas Atmajaya Jakarta jurusan Psikologi Pendidikan ini juga mengaku masih mempunyai keinginan untuk menaklukan gunung tinggi di luar negeri. Sayangnya, membaiknya kondisi Clara tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial asalnya.

Pihak keluarga menolak membawanya pulang, karena khawatir kumat lagi. Surat penolakan kepulangan tersebut juga dilampiri keterangan dari RT dan RW di tempat Clara tinggal.

Hariyono sendiri berharap, keluarga dan masyarakat sekitar tempat tinggal Clara bersedia menerimanya kembali. "Petugas kami akan berusaha meyakinkan mereka bahwa Clara sudah bisa berperilaku sosial dengan baik dan hal ini perlu mendapat dukungan dari keluarga maupun masyarakat," imbuh dia.

Kisah pilu Clara yang "terdampar" di RSJ ini terjadi secara tak sengaja. Sekitar seminggu yang lalu, beberapa tim penilai pemuda pelopor dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga datang ke RSJ Prof dr Soeroyo. Mereka bermaksud menilai Poppy Safitri, wakil kontingen Jawa Tengah untuk lomba pemuda pelopor tingkat nasional, yang diketahui menjadi pengajar kesenian tari di RSJ tersebut.

Salah satu tim penilai ternyata masih mengenali sosok Clara yang pernah diberi penghargaan Bintang Nararya karena membawa nama harum Indonesia di kancah internasional. (Agus Joko/Koran SI/fit)