Senin, 27 Oktober 2008

Keprihatinan Dibalik Prestasi


Memandang Sinis, Dari Kiri: Reza, Indra, Budi


FPTI News, Setelah sekian lama merindukan suasana kompetisi, akhirnya tiga atlet panjat tebing FPTI Kabupaten Bogor diberangkatkan ke Kalimantan Tengah untuk mengikuti kejuaraan "Bupati Batara Open Wall Climbing 2008" yang akan di diselenggarakan di Taman Rekreasi Remaja Kota Muara Teweh Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah tanggal 30 Oktober- 01 September 2008.

Hingga hari ini, ketiga atlet andalan Kabupaten Bogor masih melakukan latihan tekhnik di wall climbing FPTI Kabupaten Bogor. Reza dan Budi yang memang dihandalkan pada nomor kecepatan (Speed) sangat diharapkan mampu pecundangi lawan-lawanya, begitu juga Indra Yoga, yang pernah gagal meraih medali pada ajang PON 2008 harus optimis dengan kemampuannya.

Ketiga atlet tersebut rencananya akan terbang ke Kalteng dengan menggunakan pesawat Lion Air hari rabu jam 7 malam dari bandara Soekarno Hatta, dan mendarat di Banjarmasin. Dengan perbekalan yang pas-pasan ketiga atlet ini mau tidak mau harus berangkat ke Kalteng, "Kalau masalah tiket sudah disiapkan oleh FPTI kabupaten Bogor, tetapi untuk akomodasi yang lain sampai saat ini saya juga tidak tahu, kata Budi tadi malam.

Hal senada diungkapkan Reza M Nur, Atlet speed yang akan membawa Bendera FPTI Kabupaten Bogor pada ajang Bupati Batara Open Wall climbing, "Sepertinya kami hanya dikasih ongkos pulang-pergi saja, dan untuk kebutuhan makan kayaknya kami harus membawa bekal dari rumah pake rantang", kata Reza dengan nada konyol.

Secara terpisah, Indra Yoga yang sering disebut-sebut king of the boulder juga membenarkan soal keprihatinan rencana pemberangkatan dirinya dan kedua atlet lainnya ke Kalteng, tetapi hal tersebut tidak membuat kami gentar, dan ini akan kami jadikan cambuk untuk mengukir prestai dalam kejuaraan tersebut" kata Indra.

Pelatih cabang FPTI kabupaten Bogor, Kristy Wenas, enggan berkomentar banyak, "Kita lihat saja nanti" kata Kristy, lewat pesan pendeknya.

"Kejuaraan ini setara dengan Kejuaraan Nasional, karena ini juga merupakan kejuaraan resmi yang mendapat rekomendasi dari Pengurus Pusat FPTI yang memperebutkan total hadiah Rp 40 juta lebih dan mempertandingkan dua nomor, yaitu Speed dan lead. Dan semoga fasilitasnya juga tidak mengecewakan, karena kita menggunakan sarana dan tim teknis yang digunakan PON kemarin di Kaltim," kata Oethay, panitia Bupati Batara Open Wall Climbing kepada FPTI News tadi malam
(Kens).

Kejurda Kelompok Umur 2008

FPTI Kabupaten Bogor Sandang Gelar Juara Umum

FPTI News, Aksi para atlet junior Kabupaten Bogor dalam kancah persaingan di ajang kejurda kelompok umur jabar 2008 yang diselenggarakan di wall climbing tambun, Bekasi 24-26 Oktober 2008, memperoleh hasil yang baik. dengan perolehan sembilan medali pada ajang tersebut FPTI Kabupaten Bogor menyandang gelar juara umum.

FPTI Kabupaten Bogor unggul atas perolehan empat emas, tiga perak, dan dua perunggu. Sedangkan di posisi kedua ditempati oleh Cianjur dengan perolehan tiga emas, tiga perak, dan satu perunggu. Kemudian disusul oleh Karawang yang menempati posisi ketiga dengan perolehan tiga emas, dan dua perak. Sedang tuan rumah Kabupaten Bekasi harus puas atas perolehan satu emas tiga perak, dan empat perunggu dengan menempati posisi keempat.

Biro Pelatih Cabang FPTI Kabupaten Bogor mengatakan "Bahwa perolehan medali pada ajang Kejurda ini adalah berkat usaha keras para atlet, namun ini bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjuangan mereka yang akan mengharumkan nama Kabupaten Bogor pada event yang lebih besar, maka dari itu kami akan melakukan pembinaan yang lebih baik terhadap aset FPTI Kabupaten Bogor (atlet junior) yang kami miliki, kata Kristy Wenas tadi malam."

Sesuai dengan hasil perolehan medali pada ajang kejurda kelompok umur 2008, maka tujuh orang atlet FPTI Kabupaten Bogor akan dikirim untuk mengikuti Kejuaraan Nasional junior di Yogyakarta pada tanggal 20 November mendatang. Ketujuh atlet FPTI Kabupaten Bogor yaitu Dahlia, yang turun di kelas putri Youth A, Dina, putri Youth B, Gori, Spider Kid A putri, Ray, Spider kid C putri, Tb Boy, Youth A putra, Bim Sigrid, Youth B putra, dan Adam, Spider Kid A putra (Kens).

Minggu, 26 Oktober 2008

Atlet Junior FPTI Kab Bogor Peraih Medali Dalam Kejurda 2008

No

Nama

Kategori

Medali

1.


2.


3.


4.


5.


6.


7.


8.




9.

Dahlia


Dina


Ray


Adam


Qori


Tb Boy


Bim


Anisya



Sarif

Youth A Putri 16-17 Tahun

Youth B Putri 14-15 Tahun

Spider Kid C Putrii 7-9Tahun

Spider Kid A Putra 12-13 Th

Spider Kid A Putri 12-13 Th

Youth A Putra 16-17 Tahun

Youth B Putra 14-15 Tahun

Spider Kid A Putri 12-13 Th

Spider Kid B Putra 10-11 Th

1 Emas


1 Emas


1 Emas


1 Emas


1 Perak


1 Perak


1 Perak


Perunggu



Perunggu

Senin, 20 Oktober 2008

Polisi Tangkap Atlet Panjat Tebing

FPTI News, Aan Aviansyah, (18) atlet muda asal Surabaya terpaksa harus menjalani pemeriksaan di Polsek Gubeng pada (18/10) malam. Aan terpaksa harus bermalam di Polsek Gubeng lantaran kedapatan ikut pesta minuman keras bersama sembilan teman sekolahnya di emperan Jl Barata Jaya I, Surabaya. Aan adalah atlet panjat tebing junior yang namanya sedang merayap naik di kalangan pemanjat dunia.

Nama Aan kini menjadi salah satu sorotan dunia panjat tebing khususnya dalam kelompok junior. Bisa dikatakan ia menjadi 'raja' dalam kelompok umur di Indonesia dan Asia. Terakhir kali dalam kejuaraan panjat tebing junior Asian Youth Championship 2008 di Bali bulan lalu ia memborong medali emas dalam kategori speed dan boulder. Dan ia juga pernah menduduki peringkat tujuh kejuaraan dunia panjat tebing junior di Sydney, Australia, September lalu.

Remaja yang kini duduk di bangku SMA itu kerap kali menggondol gelar juara dalam berbagai kejuaraan panjat tebing mulai dari tingkat regional, nasional hingga internasional. Tetapi ternyata dibalik prestasinya itu ia juga suka mengkonsumsi minuman keras. “Gimana lagi, reuni sama teman-teman SMA. Diajak patungan beli minum ya ikut saja,” ujarnya enteng. Bukan Cuma itu, Sebelumnya ia juga pernah berurusan dengan polisi karena diduga terlibat kasus pengeroyokan.

Kanitreskrim Polsek Gubeng, Iptu Agung Widoyoko, baru tahu setelah melakukan pemeriksaan bahwa satu dari 10 pelajar yang kedapatan sedang pesta miras itu adalah Aan Aviansyah, yang tidak lain adalah seorang atlet andalan KONI Jatim yang sempat mengukir prestasi ditingkat dunia. “Masak juara dunia kok nggak kelihatan gitu?” ujar Iptu Agung.


Namun Aan masih beruntung. Lantaran apa yang dilakukan Aan dan kesembilan temannya hanya merupakan tipiring (tindak pidana ringan), maka dia tidak sampai masuk ruang tahanan Polsek. “Kami hanya memanggil orangtua mereka, lalu kami suruh buat pernyataan agar tidak mengulangi lagi,” kata Kapolsek Gubeng, AKP Dwi Eko Budi kepada FPTI News melalui telepon celular.


Aan yang kini sekolah di SMA GIKI 3 Klampis, setelah sebelumnya sempat sekolah di SMA 17 Agustus, mengenal dunia panjat tebing ketika masih SD pada tahun 1999. Aan dengan cepat menyerap ilmu panjat tebing yang ditekuni, dan dengan waktu yang singkat ia pun mulai menjelajahi berbagai kompetisi panjat tebing kelompok junior di tanah air. Berkat prestasinya pula Aan mendapat dukungan menjadi salah satu atlet binaan sekaligus duta produsen peralatan adventure ternama di tanah air (Kens).


Minggu, 19 Oktober 2008

FPTI Kabupaten Bogor Jaring 15 Atlet Junior

FPTI News, Untuk menghadapi Kejurda kelompok umur tahun 2008 yang akan di laksanakan di wall climbing FPTI Kabupaten bekasi pada tanggal 24-26 Oktober 2008, FPTI Kabupaten Bogor lakukan seleksi atlet junior di wall FPTI Kabupaten Bogor, kemarin (Hari minggu tanggal 19 Oktober 2008).

Dari hasil seleksi yang dilakukan kemarin, Biro pelatih Cabang FPTI Kabupaten Bogor Kristy Wenas yang berperan sebagai pelaksana seleksi mengaku mendapati 15 orang yang dianggap mampu bersaing dalam ajang Kejurda 2008 tersebut "Saya sudah mencatat 15 orang yang akan turun pada kelas Spider Kid C, Spider kid B, Spider Kid A, Youth B, Youth A, dan Junior, tetapi nama-nama tersebut akan kami musyawarahkan dahulu dengan para pengurus yang lain, katanya."

Hingga berita ini diturunkan, FPTI Kabupaten Bogor belum bisa memberikan kepastian nama-nama yang terjaring. Ini menjadi aneh, dengan waktu yang mepet dengan tanggal perlombaan tetapi nama-nama yang akan diberangkatkan masih menjadi rahasia, sehingga hal ini menjadi kekhawatiran terhadap kesiapan para atlet tersebut.

Ketua umum FPTI Kabupaten Bogor Tb. Luthfie Syam belum bisa berkomentar mengenai kesiapan para atlet yang akan di berangkatkan dalam ajang Kejurda kelompok umur 2008, "Hasil seleksi kemarin belum ada laporannya," kata Luthfie saat ditemui tadi pagi.

Kejurda kelompok umur adalah ajang pembuktian bagi tiap Pengcab, disinilah para pengcab bisa unjuk gigi dengan menurunkan para atlet junior hasil binaan, karena atlet junior merupakan aset dan cikal bakal generasi atlet yang akan berprestasi pada ivent-ivent mendatang, yang akan mengharumkan nama daerah masing-masing (Kens).

Indonesia Supervolcano Mountaineering Challenge 2008 (ISVMC 08).

FPTI News, Untuk yang pertama kali di Indonesia berlangsung sebuah kegiatan yang dikhususkan bagi para pendaki gunung dalam mengadu keterampilan, kecepatan, kerjasama tim dan ketahanan fisik selama 15 hari dalam sebuah perlombaan yang diberi nama Indonesia Supervolcano Mountaineering Challenge 2008 (ISVMC 08).

ISVMC 08 akan diselenggarakan pada 14-28 Oktober 2008, di kawasan Gunung Tambora (yang berketinggian 2.850 mdpl) dan Gunung Rinjani (yang berketinggian 3.726 mdpl), di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

ISVMC 08 adalah suatu perlombaan yang dikemas dalam satu bentuk lomba yang memadukan unsur keterampilan mendaki gunung, meliputi keterampilan dalam mencari titik sasaran dengan menggunakan peta dan kompas (navigasi), kecepatan, ketahanan dan kerjasama dalam mendaki gunung (hiking) dan peguasaan dalam menggunakan peralatan khusus untuk menuruni dan menaiki jurang (teknik ascending dan descending/rope technique).

ISVMC 08 diselenggarakan oleh Federasi Mountaineering Indonesia (FMI) untuk tujuan mengembangkan konservasi gunung dan ekowisata berbasis mountaineering, bekerjasama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Pemerintah Provinsi NTB.

ISVMC 08 berlangsung dalam 2 seri untuk memperebutkan trofhi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Gubernur NTB dan Federasi Mountaineering Indonesia serta total hadiah sebesar 70 juta rupiah. Peserta adalah tim beranggotakan 3 orang (putra, putri atau campuran) dan menguasai keterampilan yang diperlombakan.

Penyelenggaraan ISVMC 08 juga dimaksudkan untuk mendukung Visit Indonesia Year serta memperingati Hari Sumpah Pemuda dan 100 tahun Kebangkitan Nasional.

Event ISVMC akan diselenggarakan setiap tahun di gunung-gunung api seluruh Indonesia dan direncanakan menuju taraf internasional sehingga icon ISVMC menjadi promosi wisata gunung Indonesia di dunia internasional(*Kens).

Menanti Ketidakpastian

FPTI News, Fisik bukan segala-galanya, kesabaran dan ketulusan yang akan membuat kita tetap bertahan dalam suatu keadaan sulit di medan pendakian. Meski dibutuhkan fisik dan stamina yang mendukung, tetapi untuk mencapai keberhasilan sebuah pendakian diperlukan ketahanan mental, pengambilan keputusan yang cepat dan tepat akan menjadi penentu keselamatan jiwa ketika menghadapi sesuatu yang sulit (Kens/Foto By Pecong).

Jumat, 17 Oktober 2008

FMI Canangkan Pendakian Tujuh Puncak Gunung Tertinggi Dunia

FPTI News, Federasi Mounteneering Indonesia (FMI) mencanangkan pendakian tujuh puncak tertinggi di dunia untuk mencatatkan prestasi bangsa Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki pendaki tujuh gunung tertinggi di dunia.

"Kita ingin bangsa Indonesia menjadi negara yang mempunyai pendaki tujuh gunung tertinggi dan menyejajarkan diri dengan bangsa lain yang telah maju dari sisi mounteneering," kata Ketua Umum FMI Jody Alexander Tirie didampingi pendaki utama Franky Kowass dan Pengembangan Destinasi Pariwisata Firmansyah Rahim di Balairung Sapta Pesong Gedung Depbudpar Jakarta, Rabu.

Jody mengatakan, program yang diberi nama "Ekspedisi Indonesia Mendaki tujuh Puncak Tertinggi 2008 - 2009" atau "Indonesian 7 Summit Expedition 2008-2009" ini juga untuk memperingati 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional dan mendukung program Tahun Kunjungan Wisata Indonesia atau Visit Indonesia Year 2008.

Dia mengatakan, Indonesia yang memiliki puncak Cartenz Pyramid di Papua dan negara yang memiliki rangkaian pegunungan dengan jumlah gunung berapi terbanyak di dunia yaitu 240 gunung api (13 persen dari total gunung api di dunia), hingga saat ini belum pernah melakukan ekspedisi pendakian ke tujuh puncak tertinggi.

Ketujuh puncak tertinggi itu yaitu Puncak Everest (8.850 meter di atas permukaan laut/mdpl) di Nepal/Tibet yang mewakili Benua Asia, Gunung Aconcagua (6.962 mdpl) di Argentina (Amerika Selatan), Gunung McKinley/Denali (6.194 mdpl) Alaska (Amerika Utara), Gunung Kilimanjaro (5.963 mdpl) Tanzania (Benua Afrika), Gunung Elbrus (5.642 mdpl) di Elisworth Range (Benua Antartika) dan Puncak Cartenz Pyramid (4.884) di Papua Indonesia (Benua Australasia/Oceania).

Jody mengatakan, di kalangan pendaki gunung dunia, pencapaian tujuh puncak tertinggi dunia merupakan suatu prestasi besar dan impian, serta pengakuan terhadap profesionalisme di bidang mendaki gunung.

Tim Ekspedisi FMI terdiri atas lima orang pendaki yaitu satu orang pendaki utama yaitu Franky Kowass yang harus menyelesaikan pendakian secara penuh, satu pendaki pendamping yang disertakan secara bergantian di setiap gunung dan tiga orang tim base camp untuk mengawasi pendakian, bisa berasal dari kalangan pendaki gunung atau wartawan.

Jody mengatakan, ekspedisi akan dimulai dari akhir Maret 2008 hingga September 2009 atau butuh waktu 219 hari untuk mendaki tujuh gunung tertinggi dengan urutan pendakian mulai dari Gunung Kilimanjaro (17 hari pendakian), McKinley pada April-Mei (15 hari), Carstensz Pyarmid pada Juni 2008 (15 hari), Gunung Elbrus pada Juli-Agustus 2008 (14 hari), Gunung Vinson Massif pada November - Desember 2008 (21 hari), Aconcagua pada Januari - Februari 2009 (21hari) dan Everest melalui sisi utara pada Maret - Juni 2009 (68 hari).

Untuk pendakian ke Puncak Everest, Tim Ekspedisi FMI akan mendaki dahulu ke Cho Oyu (8.201 mdpl) di pegunungan Himalaya pada Agustus - Oktober 2008 (41 hari) untuk penyesuaian terhadap ketinggian (aklimatisasi).

Mengenai pendanaan, Jody mengatakan, ekspedisi ini akan membutuhkan dana sampai miliaran rupiah, akan tetapi dia menolak merincinya.

"Biayanya sekitar sembilan digitlah," kata Jody singkat dan menambahkan pendanaan berasal dari berbagai pihak termasuk sponsor dan donatur.

Ketika ditanya mengenai pemilihan Franky Kowass sebagai pendaki utama, Jody mengatakan, Franky mempunyai kemampuan dan terutama tekad yang kuat untuk bisa menjadi seven summiters selain dia merupakan anggota FMI.

"Selain itu dia juga berprofesi sebagai pendaki gunung yaitu sebagai pemandu pendaki Carstensz Pyramid yang telah dia daki 15 kali," kata Jody.

Franky Kowass mengatakan, dirinya ingin membuktikan bahwa dia bisa menjadi pendaki tujuh puncak tertinggi di dunia.

Sejak dicetuskan pada 1976 hingga saat ini baru sekitar 150 orang pendaki puncak tertinggi di dunia dari 33 negara di seluruh dunia, enam merupakan negara Asia yaitu Jepang, Cina, Korea Selatan, Singapura, Kuwait dan India.

Sementara itu, sesepuh pendaki gunung Indonesia yang juga pendiri Mapala UI, Herman O Lantang yakin Franky dapat mendaki tujuh puncak tertinggi di dunia itu.

"Saya yakin Franky akan sukses karena saya melihat tekad yang kuat dari dia," kata Herman (*/Kens).

Rabu, 15 Oktober 2008

Kursus Juri Dan Pembuat Jalur

FPTI News, Dalam waktu dekat ini Pengurus Daerah FPTI Jawa Barat akan mengadakan kursus juri dan pembuat jalur. Menurut surat undangan Pengurus Daerah FPTI Jawa Barat yang jatuh ke meja Pengurus Cabang FPTI Kabupaten Bogor sepekan lalu, bahwa surat dengan Nomor 177/Pengda-FPTI/JBR/9.2008 tersebut mengundang setiap Pengurus Cabang FPTI se-Jawa Barat untuk mengikuti kegiatan kursus juri dan pembuat jalur tersebut.

Kursus juri dan pembuat jalur akan dilangsungkan di tempat Pengurus Cabang FPTI Kabupaten Bekasi pada tanggal 20-23 Oktober 2008. Menurut jadwal global yang tertera dalam undangan bahwa kursus berlangsung selama tujuh hari, mulai dari tanggal 20-26 Oktober 2008. Hari senin tanggal 20 Oktober 2008 menurut jadwal akan dilaksanakan Pra kursus yang kegiatannya meliputi, tes pemahaman tentang penjurian, tes penyelesaian jalur pemanjatan, dan pengumuman kelulusan pra kursus.

Tidak semua peserta yang mendaftarkan diri dapat mengikuti kursus juri dan pembuat jalur tingkat Jawa barat tersebut. Dengan mengeluarkan uang pendaftaran pra kursus Rp.30.000/orang, calon peserta hanya mengikuti sebatas pra kursus saja. Setelah peserta yang lulus pada tes pemahaman dan penyelesaian jalur pemanjatan dengan grade 5.10, calon peserta dapat melanjutkan kursus juri dan pembuat jalur dengan membayar biaya kursus sebesar Rp.450.000 dengan syarat lulus pra kursus. Bagi yang tidak lulus uang pendaftaran pra kursus sebesar 30.000 tidak dikembalikan.

Para calon peserta kursus juri dan pembuat jalur tingkat Jawa Barat juga harus memenuhi persyaratan khusus dan umum. Untuk persyaratan menjadi juri dan pembuat jalur akan berbeda, karena mereka juga mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda. Pada persyaratan khusus juri harus mampu menyelesaikan jalur pemanjatan grade 5.9, menguasai komputer (Program Exel), dan menguasai sistem biley (Dinamic & Static). Sedangkan untuk persyaratan umum juri, rekomendasi dari pengcab bersangkutan dan masih aktif didalam pengcab yang bersagkutan.

Sedangkan dalam persyaratan khusus pembuat jalur harus mampu menyelesaikan jalur pemanjatan dengan grade 5.10, masih aktif manjat minimal 2 tahun , mempunyai kemampuan tentang peralatan manjat dan tali temali, sedangkan persyaratan umumnya sama saja dengan persyaratan untuk kursus juri. Kursus juri dan pembuat jalur akan dilaksanakan pada tanggal 21-23 Oktober 2008 dan akan dilajutkan dengan praktek lapangan pada tanggal 24-26 Oktober 2008 dalam kejurda kelompok umur Jabar 2008 di wall climbing FPTI Kabupaten Bekasi.

Pada kesempatan kursus juri dan pembuat jalur tingkat Jawa barat 2008, FPTI Pengurus Cabang Kabupaten Bogor akan mengirimkan utusanya sebanyak 2 orang. Para utusan diharapkan dapat lulus pada tes pra kursus dan dapat mengikuti kursus dengan sungguh-sungguh sehingga benar-benar dapat memahami tentang penjurian dan pembuatan jalur dalam kompetisi dan pada akhirnya dapat diterapkan dalam kompetisi lokal yang sudah di jadwalkan oleh Pengurus Cabang FPTI Kabupaten Bogor (Kens).

Antartika Tanpa Penguin

Kenaikan temperatur dua derajat celsius akan membawa penguin ke jurang kepunahan


FPTI News,
Apa jadinya kalau penguin punah? Antartika akan kehilangan satwa yang selama ini menjadi ikon bagi kontinen tak berpenguhi itu.

Kekhawatiran tentang bakal punahnya unggas itu terungkap dalam laporan yang dirilis oleh World Wildlife Found (WWF) pada kongres konservasi dunia di barcelona, pekan lalu. Separuh dari tiga perempat koloni utama penguin Antartika akan musnah atau tersapu habis jika temperatur global dibiarkan melonjak lebih dari dua derajat celsius. WWF memperediksi perubahan tersebut akan mengancam 50 persen kawasan tempat penguin emperor berkembang biak dan 75 persen kloni penguin adelie.

Sehari sebelum laporan berjudul "Dua derajat celsius is too much" itu dirilis, pemerintah Brasil melancarkan operasi besar-besaran untuk menyelamatkan ratusan penguin subtropis yang "nyasar" ke pantai-pantai negara tropis dan mengemalikannya ke daerah mereka bersarang, yakni di samudra selatan.

Ratusan penguin Magelan itu terdampar dalam kondisi kelelahan, bahkan banyak yuang mati. Para ilmuwan memperkirakan penguin itu tersesat jauh ke utara ketika tengah mencari makan lantaran mengikuti pergeseran populsi mangsanya akibat dampak perubahan iklim.

"Dari beruang kutub di Arktik sampai penguin di Antartika, perubahan iklim telah membawa dampak yang amat merusak bagi semua satwa di seluruh dunia," kata Dr. Sybille Klenzendorf, Direktur Program Konservasi Spesies WWF. "Koloni penguin di Antartikka telah mengalami kemerosotan tajam setelah setengah abad terakhir ketika naiknya temperatur merusak kondisi laut es dan mengganggu akses penguin dalam memperoleh makanan."

Para ilmuan dewan perubahan dan Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan bahwa rata-rata temperatur bumi akan naik lebih dari dua derajat celsius pada akhir abad ini. Kenaikan itu tak terbendung meski berbagai upaya dilakukan untuk memangkas gas rumah kaca. Namun kenaikan itu akan melaju dua kali lebih cepat bila dunia tidak mengubah kebiasaannya.

Bagi manusia, kenaikan temperatur dua derajad Celsius mungkin bisa disiasati dengan menyetel kipas angin agar berputar lebih kencang, atau menurunkan pengatur suhu pada penyejuk udara. Tetapi di Antartika, kenaikan dua derajat Celsius berarti pengurangan luas es yang menutupi Samudra selatan tempat penguin tinggal, makan, dan berkembang biak.

Kenaikan temperatur dua derajat dipastikan bakal mengubah wajah Antartika yang saat ini hanya dihuni ganggang, lumut , mikroba, dan beberapa serangga yang sedianya mampu menghadapi musim dingin Antartika yang membekukan.

Selain mempengaruhi kawasan tempat penguin berkembang biak, penurunan es laut juga berdampak pada ketersediaan krill, sumber pangan vital bagi penguin. Plankton merah dan bertubuh kecil mirip udang yang jumlahnya sempat berlimpah ini juga menopang sebagian besar kehidupan laut lainnya. "Penguin beradaptasi sangat baik dengan kehidupan dan kondisi Antartika yang dingin dan ekstrem," kata Juan Casavelos dari WWF.

Laporan yang di susun berdasarkan riset ilmiah yang dilakukan oleh David Ainley, Joellen Russel, dan Stephanie Jenouvrier dari WWF itu menunjukan bahwa pemanasan yang terjadi saat ini telah menurunkan populasi satwa yang dilindungi itu. "Jika temperatur naik dua derajat lagi, ikon Antartika ini akan sangat terancam, ujarnya.

Suhu rata-rata Antartika, yang dijuluki sebagai kontinen terdingin, sekitar minus 49 derajat celsius. Jauh lebih rendah dibandingkan Arktik. Menurut British Antarctic Survey, temperatur permukaan di sepanjang pantai barat semenanjung Antartika kini naik hampir 2,8 derajat Celsius selama separuh abad terakhir, atau naik beberapa kali lipat dari rata-rata global.

Klenzendorf mencatat, lautan es yag menutupi kawasan itu telah menyusut 40 persen dibandingkan seperempat abad lalu, yang diikuti oleh penurunan populasi penguin. Berdasarkan laporan WWF tahu lalu, populasi penguin adelie anjlok 65 persen selama 25 tahun terakhir, dan satu populasi penguin Emperor merosot separuhnya dalam 50 tahun ini.

Dr. Ricard Moss, Wakil Presiden WWF untuk perubahan iklim, mengatakan dampak perubahan iklim sangat dirasakan di kawasan kutub. "Arktik, semenanjung, Antartika, Kepulauan sub-Antartika, dan samudra selatan menghangat dengan cepat pada tingkat di atas rata-rata global." ujarnya. "Jika kawasan itu terus menghangat, spesies-termasuk penguin dan beruang kutub-yang secara tak langsung berfungsi sebagai pengawas bakal terkena imbasnya. Mereka memberi tahu bahwa kerusakan ekologis dan gelombang kepunahan akibat perubahan iklim tak hanya menimpa kawasan itu, tapi juga keseluruh planet."

Para pejuang konservasi lingkungan mendesak pemerintah setempat agar memperluas jejaring kawasan laut yang dilindungi untuk mengurangi tekanan terhadap penguin kaisar dan kerabatnya. Manajemen krill dan pengelolaan tambak ikan di samudera selatan juga harus diperketat. (Tjandra Dewi/AFP/WWF/IUCN) Koran Tempo edisi Rabu, 15 Oktober 2008

Selasa, 14 Oktober 2008

Sesudah Kesulitan Ada Kemudahan


Tandus

FPTI News, Mungkin pembaca sudah tidak aneh lagi dengan istilah hubungan kausal. Hubungan kausal saya artikan sebagai hubungan timbal balik yang menunjukan jelas bahwa ada akibat karena sebab yang dilakukan. Setiap pertemuan ada perpisahan, ada siang ada malam, dan setiap kegelapan ada terang benderang, begitu juga kesuiltan. Dalam setiap kesulitan pasti ada kemudahan, begitu juga seterusnya dan sebaliknya.

Saya selalu berusaha menyampaikan kabar gembira kepada malam hari bahwa sang fajar pasti akan datang kembali esok hari ketika gelap malam sirna dari puncak-puncak gunung dan dasar lembah saya coba kabarkan juga kepada orang yang sedang dilanda kesusahan bahwa pertolongan akan datang secepat kedipan mata, juga kepada orag yang ditindas bahwa kelembutan dan dekapan hangat akan segera tiba.

Saat saya melalui hamparan padang tandus dan perbukitan, terlihat seolah memanjang tanpa batas dan sempat membuat semangat ini sirna. Setelah saya ketahui dibalik kejauhan itu terdapat kebun rimbun penuh hijau dedaunan, seakan saya tidak merasa lelah untuk melewati hamparan padang tandus dan perbukitan untuk tiba di kebun rimbun yang di penuhi hijau dedaunan. Yakinilah bahwa setiap tangisan pasti akan berujung dengan senyuman, kekuatan akan berakhir dengan rasa aman, dan kegelisahan akan berganti dengan kedamaian.

Jangan pernah merasa terhimpit sedikitpun, karena setiap keadaan pasti berubah. Hari demi hari akan terus bergulir, tahun demi tahun selalu berganti, malam-malam pun datang silih berganti. Meski demikian yang ghaib akan tetap tersembunyi, dan Sang Maha Bijaksana tetap pada keadaan dan segala sifat-Nya. Allah mungkin akan menciptakan sesuatu yang baru setelah itu semua. Tetapi sesungguhnya, sesudah kesulitan itu tetap akan muncul kemudahan (Kens).

Mati Sendirian di Puncak Dunia

Oleh Peter Gillman
Terjemahan Bebas : Ambar Briastuti (http://ambarbriastuti.blogspot.com)


Seorang pendaki Inggris David Sharp mengalami kematian secara perlahan di atas Everest pada bulan Mei lalu. Ketika ia terbaring menuju maut, sekitar 40 orang pendaki berjalan melewatinya. Benarkah ambisi untuk menaklukan puncak dunia telah menghilangkan sisi kemanusiaan? Peter Gillman dari The Sunday Time Magazine mencoba investigasi.

Beberapa hari sebelum Natal tahun lalu, David Sharp mengirimkan email kepada kawan pendakinya di Kathmandu sembari berucap,”Aku merasa bodoh dengan mencoba mendaki Everest untuk terakhir kalinya.” Kawannya itu, seorang dari New Zealand Jamie McGuiness pernah bersama dengan Sharp ketika ia gagal menaklukan Everest di tahun 2003. Sharp mengalami kegagalan kembali di tahun 2004 sembari bersumpah tidak akan mencoba
lagi. Namun Mc Guiness tidak terkejut ketika Sharp menyatakan ingin mencoba untuk ketiga kalinya: “David tahu ia bisa melakukannya, tapi ia harus bisa membuktikan.” Kawan pendaki
lainnya, Richard Dougan, mengatakan bahwa setiap kali menyebut Everest David “merasakan semangat itu di matanya.”

Bagi Sharp melakukan tiga kali percobaan pendakian adalah gabungan dari dua hal yakni godaan yang besar dari gunung tertinggi di dunia juga sikap keras kepala yang ditunjukkan oleh Sharp sendiri tanpa memperhitungkan frosbite yang mengorbankan beberapa jari kaki di tahun 2003. Pada bulan Mei, Sharp yang berusia 34 tahun harus membayar dengan sangat mahal. Ia diketahui secara pasti berhasil mencapai puncak. Namun dalam perjalanan turun ia meninggal karena kedinginan, kecapaian dan kehabisan oksigen di sebuah tempat perlindungan batu disela sisi northeast gunung Everest.

Ada banyak kematian yang terjadi di Everest –hingga perhitungan akhir mencapai 200 orang namun kematian David Sharp adalah yang paling banyak menarik perhatian publik. Sekitar 40 orang pendaki yang mencoba mencapai puncak melalui sisi north side dari Everest pada hari itu melewati Sharp selama naik dan turun, berjalan menapaki rute tak jauh dari tubuhnya. Sebuah tempat yang tidak nyaman untuk mati, diterjang angin kencang dan udara dingin dengan view yang monumental dari sisi northwest. Peristiwa meninggalnya Sharp ini sungguh merisaukan. Para pendaki menggambarkan bagaimana tangan dan bahunya mengalami deformasi karena frostbite; bagaiman ia diminta beranjak dan ketidakmampuannya untuk berdiri hingga akhirnya ditinggalkan mati sendirian.

Kematian Sharp meninggalkan perdebatan yang tajam di dunia pendakian dan pers internasional. Pendaki legendaris seperti Sir Edmund Hillary mengeluhkan perilaku pendaki2 ini. Sekitar 40 orang pendaki dituduh telah menempatkan ambisi pribasi untuk menaklukan puncak gunung sebagai prioritas ketimbang menyelamatkan nyawa Sharp. Mereka ini adalah para pendaki dari negara seperti, Australia, New Zealand, Lebanon, Turki dan USA. Wawancara intensif dengan para pendaki itu ternyata memberikan gambaran peristiwa yang lebih kompleks dari sekedar tuduhan yang dialamatkan pada mereka.

Dari hiruk pikuk perdebatan ini hanya satu pihak yang tetap diam. Mereka adalah keluarga David –ayah ibunya yang berusia sekitar enampuluhan dan adik laki-lakinya bernama Paul yang bertindak sebagai juru bicara keluarga. Dari keterangan kawankawannya, David adalah sebuah karakter anak muda yang dekat dengan orangtua. Ia sangat suka tantangan baru dan juga seorang penyendiri yang percaya pada keputusan yang dibuatnya.

Namun ada beberapa kontradiksi pula pada dirinya. Sebagai seorang ilmuwan yang dianugerahi kemampuan analitis David membiarkan godaan untuk mendaki Everset kembali. Apakah ini bagian dari karakter seorang pendaki? Apa sih yang harus ditanyakan seorang pendaki pada dirinya sendiri? Untuk pertanyan-pertanyaan ini mungkin kita tambahkan satu lagi : apakah memang Sharp sudah dibutaakan mata pada realitas sehingga mengambil resiko terlalu besar ?
***
David Sharp lahir di kota kecil Harpenden di UK dimana ayahnya bekerja sebagai seorang analis pada perusahaan kimia; sedang ibunya adalah seorang asisten laborat. Karena pekerjaannya ayah David membawa keluarga ini tinggal di northeast England dimana David bersekolah di Guisborough’s Lawrence Jackson School dan Prior Pursglove College. Guru Fisika-nya, Steve Honeysett teringat David sebagai salah satu dari siswanya yang paling cerdas. “Ia sangat individualist walaupun untuk seusia dia. Ia cepat berpikir, dengan cara pemikiran yang sistematis.

Di Notingham University di tahun 1993 David Sharp mendapatkan gelar insinyur mesinnya.
Ia juga mulai melakukan climbing. Dengan tubuh atletis setinggi 6ft, membuat ia adalah sosok ideal dengan kombinasi tubuh yang ringan dan jangkauan yang panjang. Ia melatih kemampuan climbing di Lake District dan juga pada bentukan dinding di dekat rumahnya. Kawan dekat Sharp suka menyebutnya sebagai ‘rocket scientist’. Dan itu memang mendekati kenyataan ketika Sharp mendapatkan pekerjaan di Dept. Pertahanan dengan spesialisasi target system. Ia juga makin mengasah kemampuan climbingnya. Di tahun 2001 ia bergabung dengan ekspedisi komersial menuju Gasherbrum II dengan ketinggian 8,035m adalah puncak 13 tertinggi di Himalaya.

Henry Todd yang saat itu memimpin ekspedisi teringat David adalah pribadi yang “pemalu, tidak terlalu suka bergaul dengan sesama, lebih sebagai seorang penyendiri”. Ekspedisi itu tertahan oleh cuaca yang buruk dan turun kembali dari ketinggian 7,700m. Todd agak meragukan kemampuan David dalam climbing. Walaupun bersemangat namun “ia bukanlah seorang climber yang memikirkan keselamatan dan bukan pembuat keputusan yang baik.” Sharp kembali ke Himalaya di tahun 2002, kali ini ia ingin menaklukan Cho Oyu dengan
tinggi 8,201m yang terletak tak jauh dari Mt Everest. Ia bergabung dengan grup komersial Project Himalaya yang dipimpin oleh Jamie McGuiness, seorang pendaki dan guide dari New Zealand yang mengingat David sebagai,”sangat kurus dan tegap tapi mempunyai kekuatan di ketinggian”.

Sebuah tim dari Northern Irlandia yang juga samasama mencoba menaklukan Cho Oyu memberikan keterangan yang berbeda dari Todd yakni “sangat menyenangkan, bersahabat, dan cerdas,” kata Richard Doughan. Doughan yang berpidato pada saat perayaan memorial di Guisborough bulan Juli lalu menambahkan, “ David menyukai tantangan. Ia mendaki gunung untuk menemukan tujuan dan keinginanya.” Doughan juga sepakat bahwa Sharp cenderung penyendiri. Walaupun ia gampang ditemani dengan cerita2 travelling namun hampir semua orang menyatakan ia adalah “tipe seorang yang selalu mengambil langkah ke belakang
sehingga tak banyak orang yang tahu tentang pribadinya.”

Sharp berhasil mencapai puncak Cho Oyu dengan McGuiness. Namun bagi Dougan dan tim Irlandia ini adalah kesusksesan yang pahit ; satu dari tim pendakinya meninggal jatuh di crevasse 1). Dougan sebelumnya telah berencana untuk mencoba Everest dengan kawannya yang meninggal itu. Lantas ia mengundang Sharp untuk mengambil tempat sebagai pengganti. Sharp menerima tawaran itu.

Tiba di Everest April 2003, Sharp dan tim berusaha menuju puncak dari sisi utara, menghabiskan banyak waktu untuk mendapatkan “jendela cuaca’ di akhir bulan Mei yang biasanya memberikan peluang terbaik. Sharp dan Dougan adalah pasangan yang paling fit yang berusaha mencapai puncak. Namun mereka harus melalui awal yang tak mengenakkan ketika mencapai sisi northest, sebuah lokasi yang menjadi memorial paling dikenal di Everest. Di tahun 1996 seorang pendaki India yang berusaha turun setelah melalui badai meninggal di cerukan batu tepat disamping jalur pendakian.

Mayatnya yang dikenali dengan sepatu boot warna hijau tetap berada di tempat itu hingga saat ini. “Anda bisa melihat tiap detail,” Dougan menggambarkan mayat itu. Ini adalah salah satu mayat dari sekian puluh yang berserakan di Everest, ditinggalkan karena tidak mungkin untuk membawa turun. Dougan teringat betapa beratnya untuk keluar dari deretan batuan di northeast. Sharp terlihat “kuat dan waspada, dan menguasai keadaan”. Tapi saat itu Everesr begitu dingin dan Sharp mulai mengalami frostbite di pipi dan hidungnya. Ia juga mengalami
masalah dengan tabung oksigen. Di tengah perjalanan antara dua tempat yakni First Step dan Second Step, Sharp memutuskan untuk kembali. Tak urung ia malah meminta Dougan untuk mencoba sendirian, tapi ia juga menyerah tak lama kemudian. Ketika Sharp membuka sepatu boots-nya malam itu, ia nampak menyesal melihat tanda-tanda frostbite di kakinya. Akhirnya ia harus kehilangan jempol kaki dan setengah dari jari kakikecil lainnya. “Ia tidak pernah mengeluh tentang kehilangan jempol –ia nampak bisa menerima kenyataan,” begitu Dougan menambahkan.

Sembari mengusir sepi selama ekspedisi, Sharp juga berbicara tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ia mengatakan pada Dougan bahwa ia ingin menjadi seorang guru. Dougan yang bekerja di adventure centre di Northern Ireland berujar tentang “bekerja dengan anak-anak adalah hal yang menyenangkan –sesuatu yang mungkin mempengaruhi Sharp.” Keinginan Sharp untuk mendaki Everest tetap tak terpatahkan. Ia kembali setahun kemudian, bergabung dengan sebuah grup dari Perancis-Austria mencoba dari sisi utara. Team leader Hugues d’Aubarade menyebut Sharp,”orang yang betul-betul independen”.

Walau begitu ia cukup terkesima ketika Sharp mengumumkan dua keputusan penting. Ia akan mendaki Everest sendirian dan melakukannya tanpa tabung oksigen. Climbing solo atau sendirian akan membuat resiko makin besar karenaseorang pendaki tidak punya partner untuk berbagi keputusan atau mengharapkan bantuan dikala kesulitan datang. Climbing tanpa oksigen akan makin memperburuk situasi karena hanya 1 dari 10 orang yang berhasil ke puncak Everest adalah tanpa menggunakan tabung oksigen. Bagi pendaki yang tidak menggunakan tabung oksigen hampir semua berdasar pada masalah etis. Mereka menyebut mendaki dengan bantuan oksigen adalah bentuk kecurangan –pandangan yang sepenuhnya disetujui oleh Sharp.
“Aku ini salah seorang yang ngg waras yang tidak menyetujui penggunaan peralatan oksigen,” begitu ia menulis email kepada kawan pendaki dari Australia Tony Bragg.”Filosofi-ku adalah jika kamu ingin oksigen yang lebih banyak, maka naiklah ke puncak gunung yang lebih rendah.”

D’Aubarede teringat ketika Sharp “mempertahankan idenya itu dengan sungguhsungguh”.
Namun Sharp menolak sarannya untuk melakukan aklimatisasi dengan naik turun secara berkala hingga base camp ketimbang menghabiskan banyak waktu di ketinggian. Sharp, ujarnya adalah sebuah “enigma yang mengesankan menarik diri dari realitas dan seperti hidup di dunia lain.”

Ketika pendakian, Sharp bersama d’Aubarede dan tiga kawannya, ia terlihat jauh tertinggal. Saat D’Aubarede berhasil mencapai puncak, Sharp kembali turun dari First Step. Sharp tetap memandang positif atas kegagalannya dalam sebuah email kepada Bragg. “Saat itu kami mendaki dengan tangguh.” Ia menambahkan “Aku kira tak akan kembali lagi ke si besar E (Everest) dengan O2 dan cuaca baik. Aku tanpa ragu akan bisa sampai ke puncak walau tantangan yang sesungguhnya tidak kutemui disana.” Pernyataan Sharp ini berbeda dengan yang diberikan kepada d’Aubarede.”Ia berkata bahwa akan kembali ke Everest karena ia ingin mendaki hingga puncak.”

Setahun kemudian, Sharp mengundurkan diri dari pekerjaannya di Departemen Pertahanan dan mengambil pendidikan untuk menjadi guru di Nottingham. Ia kemudian melakukan ‘globetrotting’ travelling secara intesif di Amerika Selatan dan Asia. Tapi Everest terus saja mengganggunya dan sesaat sebelum hari Natal ia mengirim email ditujukan pada McGuiness untuk mengumumkan upaya terakhirnya.

Sharp juga menambahkan beberapa detail penting lain : ia memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan dari Kathmandu bernama Asian Trekking. Perusahaan ini dikenal menawarkan calon pendaki Everest dengan tarip sekitar $7,000 hingga $8,000 untuk pelayanan dasar seperti peralatan oksigen, makanan, tempat di base camp, dan permit dari pemerintah China. Perusahaan klas atas biasanya meminta $40,000 bahkan lebih untuk makanan berkualitas baik, guide yang professional, tali yang telah dipasang sepanjang rute untuk meningkatkan keamanan, dan sherpa untuk menemani para klien hingga ke puncak dan kembali. McGuiness mengelola Project Himalaya yang menawarkan tarip menengah yakni $22,000. Ketika mendengar rencana Sharp, ia menawarkan untuk membayar $1,000 lebih dari yang dibayarkan Sharp kepada Asian Trekking untuk bergabung dengan tim yang dipimpin McGuiness. Namun Sharp menolak tawaran itu. “Ia menyebut sebagai tawaran yang murah hati,” kata McGuiness,”Namun ia akan terikat dengan grup dan tidak akan mampu melakukan
sesuatu dengan independen. Ia merasa cukup kuat untuk bisa mengatasi keadaaan di ketinggian.”

Ketika Sharp tiba di Everest Base Camp, pemandangan disana mungkin tidak seperti digambarkan oleh para pioneer Everest sebelumnya. Mendaki Everest dari dua sisi utara dan selatan kini bisa mencapai ratusan pendaki pertahun. Berderet tenda daribeberapa ekspedisi terlihat di antara bebatuan kelabu. Sebuah grup besar terdiri dari para pendaki, para guide, para sherpa, dari Himalaya Experience atau Himex –sebuah perusahaan yang dikelola oleh Russel Brice dari New Zealand. Brice inilah yang akan memainkan peran penting dalam peristiwa yang terjadi seputar kematian David Sharp yang membangkitkan perhatian kalangan pendaki di dunia.

Kalangan minoritas dunia mountaineering menyebut Brice sebagai pengguna kekuasaan dengan tak sehat, terkadang ditunjukkannya di base camp. Salah satu pendapat datang dari Steve Bell pemimpin perusahaan adventure tandingan Jagged Globe yang menyatakan Brice sebagai “seorang yang professional yang membuat ia dihormati di kalangan para guide.” Brice menyandang catatan yang mengesankan : 166 klien berhasil dibawanya mendaki Everest dan ia pula yang membawa turun mayat seorang snowboarding asal Italia dari sisi utara. Ia juga dikenal sebagai pemberi perintah utama di kalangan pendaki di Base Camp dengan menyuruh tim sherpa-nya memasang fixed-rope (tali tetap) di sepanjang rute. Brice meminta bayaran $100 per pendaki dari tim ekspedisi lain jika menggunakan tali yang dipasangnya itu. Sebagian
besar membayar namun sebagian kecil yang mangkir disebutnya sebagai “pendaki murahan”.

Disaat para pendaki menanti cuaca membaik, Sharp mengunjungi McGuiness di tendanya yang berantakan itu. “Ia terlihat relax,”McGuiness mengingat. Sharp mendiskusikan pilihannya untuk mendaki tanpa oksigen. Walaupun sebelumnya ia kukuh berkeberatan memakai oksigen, namun ternyata ia telah membeli dua tabung silinder. Hanya saja masih belum pasti apakah menggunakannya atau tidak. Sharp juga menegaskan bahwa dengan kesibukan karirnya sebagai guru maka saat ini adalah upaya yang terakhir.

Jendela cuaca 2) yang diharapkan Sharp dan para pendaki lainnya terjadi di pertengahan bulan Mei. Semua mata menatap pada tim Brice. Salah satu guide-nya Mark Woodward dari New Zealand yang telah menaklukan Everest dua kali mengatakan, “Ramalan cuaca kelihatannya mapan”. Ia menambahkan, “Kami memutuskan mendaki lebih awal untuk mencoba ke puncak.” Dua tim dari Himex terdiri dari 30 orang klien, guide dan sherpa mulai bergerak, sedang Brice sendiri menunggu di North Col di ketinggian 8,000m di tempat dimana ia bisa memonitor kemajuan tim.

Pada tanggal 13 Mei para pendaki mulai menapaki camp tertinggi di 8,400m. Sharp ikut
bergabung dengan mereka, memasang tendanya yang mungil diantara bebatuan dan teras salju dibawah Northeast Ridge. Diatasnya adalah jalan mendaki sepanjang 1 mile (1.6km) menuju 8,850m puncak. Yang paling mengesankan adalah pandangan dari Second Step yakni jajaran batuan yang harus didaki dengan bantuan tangga yang dipasang pertama kali oleh pendaki dari China di tahun1960an. Pemandangan disana bisa jadi cukup menakutkan ketika para pendaki harus mengabaikan jurang yang dalam hingga Rongbuk glasier sejauh dua mile (3.2km) kebawah. Dalam perhitungan normal, Sharp memperkirakan delapan jam untuk mencapai puncak dan empat jam kembali. Ia akhirnya memutuskan untuk membawa dua tabung oksigennya yang akan habis dalam 8 dan 12 jam.

***
Sharp meninggalkan camp sekitar pukul 11.30 malam hari di 13 Mei. Ini menjadi sebuah
paradox dari kisahnya karena tidak ada satupun dari 30 orang di camp yang menyaksikan atau mengenali ketika ia mulai mendaki. Satu-satunya saksi yang melihat adalah Bill Crouse, seorang guide dari US yang bekerja untuk Himex. Sebenarnya Rouse tidak mengenal Sharp namun mengidentifikasinya setelah memberikan gambaran rinci. Crouse pertama kali melihat Sharp di Exit Cracks, titik dimana para pendaki mencapai cekungan Northeast Ridge sekitar pukul 2 pagi.

Ia bertemu kembali dengan Sharp untuk yang kedua kalinya pada 11.30pagi di bawah
bentukan yang dikenal dengan Third Step. “Aku memintanya agak menepi karena ia menutupi rute ketika kami bergerak turun.” Waktu yang ditunjukkan itu terbukti cukup penting. Ketika Crouse dan beberapa Himex klien turun setelah mencapai puncak, Sharp masih saja berusaha mendaki. Kemudian Crouse melihat Sharp bergerak dengan pelahan hingga tebing terakhir, yang sepertinya bisa diduga ia mencapai puncak sekitar pukul 2.30siang pada tanggal 14 Mei.

Saat-saat ketika Sharp mencapai impiannya adalah saat yang paling ekstrem. Dengan perhitungan waktu normal ia sesungguhnya sangat terlambat. Brice menekankan bagi para kliennya yang masih berusaha mencapai puncak hingga pukul 8.00 pagi sebaiknya segera kembali. Setelah lebih dari 12 jam di atas gunung, persediaan oksigen akan segera habis. Seluruh energi akan terkuras menghadapi dinginnya udara dan ia akan mengalami dehidrasi. Sharp kini harus menempuh dua mile kembali ke Northeast Ridge, menuruni patahan berbahaya di Exit Crack untuk mencapai tendanya. Saat malam tiba sekitar pukul 6 petang akan membuat posisi makin sulit. Karena kecapaian ia kemudian mencapai cerukan dimana mayat pendaki India dengan sepatu boots hijau-nya terbaring abadi selama 10tahun. Di lokasi itulah yang terkenal dengan Green Boots Cave kisah drama ini akan berawal.

Beberapa jam setelah Sharp mencapai gua itu, para pendaki yang naik sehari kemudian (sekitar 40 orang) mulai beranjak. Sekitar tengah malam, dua orang pendaki dari Turki melewati gua tadi. Salah seorang mengingat bahwa Sharp sedang “duduk di depan gua disamping mayat pendaki India’, terlihat sibuk dengan ranselnya. Seorang sherpa yang mendaki dengan orang Turki ini menyuruh Sharp untuk berdiri dan bergerak kembali, namun Sharp “melambaikan tangan untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja”. Namun ketika grup orang Turki ini kembali melewati gua tadi, Sharp terlihat tidak bergerak sama sekali. Salah seorang anggota tim menyebut bahwa Sharp terbaring di samping mayat orang India itu dan mengira ia adalah juga ‘mayat’. Ketua tim pendaki Turki, Serhan Pocan juga meyakini bahwa Sharp sudah meninggal.
Dua sherpa lainnya sepakat dan akan melakukan identifikasi begitu mereka turun ke bawah. “Kami yakni sepenuhnya bahwa ia sudah meninggal ketika kami bergerak ke atas.”

Diantara para pendaki Himex terdapat beberapa perbedaan versi cerita. Seperti Max Chaya, pendaki dari Beirut mengatakan bahwa mereka tidak melihat Sharp sama sekali. “Saat itu begitu gelap, hanya saya dan sherpa saya –ia tidak menggunakan headlamp sedang punya saya tidak terlalu terang. “ Pendaki lainnya dari Australia Bob Killip mempercayai bahwa Sharp adalah pendaki India itu. “Saya melihat sebuah mayat dari belakang dengan tali yang masih ditangannya. Jadi saya hanya memberi kode dan berjalan melewati. Saya kira saya menyaksikan orang India itu. Ini adalah pengalaman yang cukup traumatis yakni berjalan melewati mayat. Saya hanya menunduk dan menyatakan hormat sembari terus berjalan.”

Salah satu cerita yang cukup merisaukan datang dari guide asal New Zealand Mark Woodward yang memperkirakan ia bersama tiga orang pendaki dan beberapa sherpa melintasi Sharp sekitar pukul 1dini hari. Ia nampak “duduk diatas Green Boots,” begitu Woodward mengingat. ‘memeluk kaki seperti posisi bayi di kandungan’. Hidungnya menghitam karena frostbite dan hanya mengenakan kaos tangan tipis dengan tanpa oksigen.” Namun ia masih hidup. Ketika Woodward dengan pendaki dan kamerawan Mark Whetu yang saat itu sedang menfilmkan pendakian, berteriak memanggil Sharp. “Whetu seperti berteriak untuk ‘ayoh terus bergerak, ayoh terus bergerak’ sedang Woodward menggunakan lampu untuk melihat mata Sharp. “Tidak ada sebuah kedipan matapun darinya.” Karena itu mereka meneruskan langkah sembari membatin,”Oh sungguh malang nian nasibmu kawan,” Lantas Woodward menambahan “Kami meyakini jikalau ia belum mati saat itu namun ia tak jauh dari saat-saat ajal. Kami semua
melihatnya dan menyadari bahwa ia berada di ujung kematian.”

Enam jam berlalu ketika suhu turun hingga sekitar -30C. Dari gambaran tentang kondisi Sharp sepertinya ia mengalami hypothermia dan hypoxia –atau kehausan akan oksigen juga kemungkinan mengalami penyakit ketinggian yang disebut oedema. Ini juga cukup menjelaskan pergantian kondisi yang dilihat para pendaki lain yang berpapasan dengannya. Kemungkinan pula bahwa ditengah hypothermia yang dialami Sharp, ia mengalami perubahan dari hypoxia. Berhasil sadar kembali hingga perutnya membeku seperti yang disaksikan beberapa pendaki berikutnya.

Sekitar pukul 7pagi, satu jam setelah sinar menerangi, sebuah grup dari pendaki Turki yang baru saja kembali dari puncak mencapai cekungan itu dalam perjalanan turun. Salah seorang diantaranya adalah Serhan Pocan yang sebelumnya telah meyakini bahwa Sharp telah meninggal. Pocan terhenyak ketika dilihatnya bahu Sharp bergerak. “Saya sungguh ketakutan,”begitu pengakuan Pocan sembari berusaha menolong Sharp. “Kami mencoba membuatnya berdiri dan mencoba memberinya minuman panas namun ia tidak mampu meminumnya. Hidungnya telah beku hingga bagian dalam tubuhnya. Tangannya mengeras seperti batu. Ia masih mampu membuka kelopak mata namun tidak bisa mengucap sepatah katapun. Pocan memerikas tabung oksigen dan menemukan dalam kondisi kosong. Saat itu Pocan mendaki bersama istrinya yang diduga juga mengalami penyakit ketinggian dan sedang dibantu turun oleh dua orang sherpa. Pocan melakukan dua kali kontak dengan radio : pertama dengan kawan pendakinya yang sedang menuruni puncak untuk mengawasi Sharp, kedua adalah tim ekspedisi lain yang mendaki puncak sehari sebelumnya. Dari sana kemudian berangkat empat orang sherpa yang diharapkan oleh Pocan untuk membantu istrinya dan juga
Sharp. Namun para sherpa itu sangat kelelahan dari pendakian sebelumnya dan hanya mampu mencapai Top Camp.

Pendaki dari Lebanon Max Chaya adalah orang yang menemui Sharp berikutnya. Setelah melakukan pendakian dengan cepat ia berhasil mencapai puncak pada pukul 6pagi dan mencapai cekungan itu pukul 9.25pagi. Menurutnya posisi Sharp adalah, “terlihat sedang duduk dengan kaki yang terlipat. Tangannya seperti sedang memegang bola. Ia sedang memakai kaos tangan tipis warna biru dengan jari jemari yang terlipat dengan arah yang tidak semestinya. Jari-jarinya terlihat membeku, saya bisa melihat giginya karena mulut yang terbuka. Ia terlihat sangat tidak sadar,” Chaya berusaha berbicara padanya.”Aku kira ia tidak bisa mendengar apa yang aku coba katakan.”

Dalam catatan waktu 9.30pagi, Chaya menghubungi Brice via radio di North Col untuk menanyakan apa yang harus ia perbuat selanjutnya. Brice menanyakan kondisi Sharp dan meminta diberikan deskripsi. “Aku memberitahukan bahwa David masih hidup namun tidak sadar. Bahu dan tangannya membeku hingga sebatas siku, kakinya membeku hingga lutut dan ia mengalami frosbite di bagian hidung, “Brice juga menyatakan kemudian dalam wawancara bulan Juni bahwa Sharp melepas sarung tangan luar dan membuka jaket –sebuah perilaku tidak rasional yang sering terjadi bila kita mengalami hypothermia.

Brice sendiri dalam posisi yang sulit karena ia barusaja menghabiskan satu jam untuk meminta dua klien yang mendaki dengan lambat dan mengalami frostbite untuk balik kanan. Mereka dibantu oleh para sherpa bersama dengan pendaki dengan dua kaki amputasi Mark Inglis yang dilaporkan mengalami frostbite di kedua pahanya. “Aku harus mengawasi dua orang klien dalam kondisi buruk untuk menuruni gunung,” ujar Brice. “Aku harus terus menjaga klien ini dan aku tidak punya kemampuan ataupun botol oksigen atau apapun untuk membantu orang lain dalam waktu bersamaan seperti itu.” Brice memerintahkan Chaya untuk terus bergerak turun. Mendengar perintah itu Chaya begitu terpukul –“Aku ingat saat itu aku menangis” –namun ia bisa memaklumi keputusan itu.

Sekitar 90 menit kemudian, tiba grup pendaki yang lain mencapai posisi Sharp. Salah satunya adalah seorang dari Australia bernama Bob Killip yang berhasil mencapai puncak pada pukul 7pagi. “Satu-satunya gerakan yang bisa aku lihat adalah di bahunya,”Killip berujar. Ia juga memperkirakan bahwa dirinya sendiri juga mengalami frostbite dan sempat mendengarkan percakapan radio antara Brice dan Chaya. “Jadi ketika aku berhadapan dengan David, aku mengira bahwa ia sudah tak mungkin tertolong lagi. Aku tidak menghubungi Russ untuk menanyakan proses deskripsi atas kondisi Sharp kembali. Aku merasa dalam posisi yang tak mungkin untukmenyelamatkan orang ini.”

Waktu menunjukkan 11.45 pagi ketika seorang sherpa, Phurba mencapai Sharp. Bersama dengan sherpa lain dan seorang pendaki Turki yang sedang berusaha memperbaiki tabung oksigen. Phurba mengenakan helm dengan camera yang kemudian diketahui merekam Sharp bergumam lirih,”Nama saya David Sharp.” Namun ketika tubuh Sharp berusaha ditegakkan -dengan harapan ia mungkin bisa dibantu untuk menuruni gunung; tubuh Sharp tetap saja terjatuh. Mark Woodward yang tiba 30 menit kemudian menemukan Sharp dalam posisi sejajar dengan rute turun. “Sangat tidak nyaman melihat kondisi David saat itu. Apalagi menyadari bahwa sebenarnya ia masih hidup, hanya ia memang tidak mampu lagi.” Woodward sedang menolong klien Himex yang terluka meneruskan langkah menuruni Everest.

Sehari kemudian pada tanggal 16 Mei, para pendaki dari Korea melewati titik itu dalam
upayanya menuju puncak. Seorang sherpa menghubungi kawannya yang berada di Himex tim.”Ia mengkonfirmasi bahwa laki-laki itu masih berada di tempat yang sama seperti ketika Phurba meninggalkannya, dan juga menyatakan bahwa ia telah meninggal,” begitu Brice melaporkan.

Di Base Camp muncul kekhawatiran yang menghantui para pendaki. Setelah memperhitungkan anggota tim-nya, Brice mencoba mencari tahu identitas pendaki yang meninggal itu. Dalam situasi tsb, Base Camp dipenuhi rumor bahwa pendaki itu berasal dari Eropa Timur. Ketika berada di tenda Asian Trekking, Brice menggambarkan ransel yang dikenakan Sharp. Seorang pendaki asal Amerika menkonfirmasi bahwa itu adalah milik Sharp. Tak seorangpun dari Asian Trekking tim yang bersedia mengabarkan kepada orangtua Sharp di Guisborough tentang musibah tersebut. Maka hanya Bricelah yang harus melaksanakan tugas tersebut. Setelah memperkenalkan diri ia mengatakan pada kedua orangtua David bahwa, “Saya mempunyai kabar buruk untuk anda.”
***

Perdebatan yang menyertai kematian Sharp berfokus pada Brice. Bisakah ia melakukan operasi penyelamatan disaat ia mengetahui kondisi Sharp? Hal ini juga sejalan dengan yang terjadi pada Lincoln Hall seorang New Zealand –yang juga bergabung dengan Asian Trekking yang ditinggalkan di Second Step pada tanggal 26 Mei. Sehari selanjutnya para pendaki menemukan ia dalam keadaan hidup dan setelah dilakukan operasi penyelamatan besar2an yang membutuhkan lima orang sherpa dan 50 botol oksigen akhirnya Hall berhasil dibawa turun dengan selamat. Namun ada dua perbedaan mendasar antara situasi Lincoln Hall dan David Sharp yakni saat itu suhu di malam hari lebih hangat 20C dan Hall masih bisa berjalan. Brice tetap bersikukuh bahwa ia dalam posisi yang sulit untuk memberi bantuan berdasar gambaran
Max Chaya tentang Sharp yang sudah ‘nyaris meninggal’. Walaupun diakuinya cukup sulit membuat keputusan seperti itu.

Tapi dalam delapan hingga sembilan jam sebelumnya ketika para pendaki berjalan melewati tubuh Sharp menuju puncak, apakah ia masih bisa ditolong ? Ini yang agaknya menciptakan kontroversi karena Brice mengatakan bahwa jikalau ia mengetahui siapa Sharp maka ia mungkin akan melakukan upaya pertolongan. Namun medan sangat sulit, terutama di Exit Cracks (seorang pendaki asal India meninggal jatuh di titik ini ketika menuruni patahan pada tanggal 14 Mei). Namun Brice memperkirakan mungkin kesempatan masih ada.”Kami mempunyai sherpa yang masih kuat, guide dan klien serta beberapa tabung oksigen. Terlebih jika saat itu masih dalam masa awal musim pendakian, maka para pendaki bisa kembali kapan saja.“ Namun, ia menambahkan, sejak ia tidak mengetahui Sharp maka ia tidak mencoba menanyakan lebih lanjut.

Apa yang diutarakan Brice sebagai bagian dari tanggungjawab yang dikembalikan kepada para pendaki yang melewati Sharp malam itu. Telah menjadi ‘perjanjian umum’ menurut McGuiness bahwa,”para pendaki terkadang begitu focus pada tujuan menuju puncak” sehingga mereka tidak memperhitungkan seorang pendaki yang kelelahan dan kemungkinan memerlukan pertolongan, McGuiness kembali mempertimbangkan tentang para pendaki dari Turki yang kurang berpengalaman dibanding guide dari Himex Mark Woodward atau pendaki kamerawan Mark Whetu.

Para pendaki Turki kemungkinan tidak menyadari bahwa Sharp sedang mengalami kesulitan atau mereka mengira ia telah meninggal. Seperti diketahui hanya Woodwardlah yang mengetahui bahwa Sharp dalam kesulitan namun ia sudah tak bisa ditolong lagi. “Hasil pengamatan lapangan memang rasanya kok begitu tega namun itulah yang terjadi ketika dihadapkan pada situasi yang sulit. Jika aku dihadapkan pada kondisi yang sama mungkin respon-ku juga sama. Jika Sharp lebih vokal dan tegas, para pendaki mungkin bisa segera berbuat sesuatu. Sharp tidak mampu memberitahu orang-orang sekitarnya hingga tak seorangpun tahu dengan siapa dia mendaki. Mencari informasi di sekitar atau di wilayah BaseCamp cukup memakan waktu. Hanya beberapa orang yang menyadari betapa ekstrem kehidupan di ‘death zone’ dan tentang survival itu betul-betul seperti halnya meminjam waktu. Ibarat seorang yang terluka di medan pertempuran namun sangat jauh dari tenaga medis. Woodward menegaskan,”Itulah realitas yang harus dihadapi ketika berada di lingkungan Everest”.

Kematian David Sharp juga membuka sebuah perdebatan di komunitas mountaineering. Disamping protes keras terhadap Brice, ia juga dikritik habis-habisan oleh banyak mountaineering websites tentang konflik antara pendaki “independent” dan ekspedisi
komersial. Lainnya menuduh Brice memainkan peran sebagai Lord of Flies 2) yang memutuskan antara siapa yang hidup dan mati. Brice bersikeras bahwa ia tidak mampu menolong Sharp dengan menunjukkan catatan dramatisnya membawa setengah dosin mayat turun dari Mt Everest dengan sukarela. Ia juga menyebut bahwa para pendaki dari Asian Trekking tidak membayar penggunaan tali yang dipasangnya termasuk pendaki lain dari Brazil yang meninggal ketika turun dari puncak tak lama setelah kematian Sharp.
Brice juga tengah mengusahakan melobi pemerintah Cina untuk menerapkan standar minimal bagi keselamatan para pendaki yang ingin menaklukan puncak dari sisi utara. Ia juga menambahkan jika Sharp saat itu membawa radio untuk melakukan komunikasi, “Kami mungkin masih mampu membawanya turun”.

Perdebatan di dunia climbing juga terfokus pada David Sharp. Dalam dunia climbing terdapat dua ideologi yang terkadang tidak mudah digabungkan. Pertama adalah bahwa nasib merupakan tanggung jawab pribadi yang berada di tanganmu sendiri. Kedua adalah etika grup dimana kesetiaan dan saling membantu merupakan nilai yang saling tumpang tindih.

Barangsiapa yang memutuskan untuk mendaki seorang diri sesungguhnya menanggalkan haknya berdasar ideologi kedua sebagai bagian dari kebebasan yang diperoleh dari ideologi pertama. Sharp menunjukan perilaku ambiguitas terhadap resiko yang diambilnya. Ia mencoba meyakinkan pada ibunya bahwa di Everest ,”kita tidak pernah sendirian –ada banyak pendaki disana”. Ini juga menunjukkan titik balik dari pendapat yang diperdebatkan dengan McGuiness bahwa ia ingin bebas dari tanggung jawab terhadap pendaki yang lain. Mungkin inilah yang memotivasi usahanya yang terakhir –dengan memberikan pertanda awal kepada para pendaki Turki bahwa ia tidak membutuhkan bantuan mereka. Sebuah tindakan yang menunjukkan sikap egois –sikapyang telah ia tunjukkan sebelumnya.

Ambiguitas yang sama pula ditunjukkan ketika Sharp memutuskan untuk mencoba peruntungan mendaki puncak. Ketika ia mencapai Third Step, Sharp seharusnya bisa mengkalkulasi waktu seperti halnya mengerjakan matematika dasar. Ia telah berada pada ketinggian yang di sungguh luar jangkauan siapapun dalam sebuah wilayah yang tak bertuan. Sharp telah mendaki sekitar 12jam dan tidak bakal mampu mencapai puncak hingga tengah hari membuat ia dalam kondisi riskan dan berbahaya ketika turun.. Ia kekurangan oksigen, dehidrasi, dan kelelahan yang amat sangat.

Namun satu hal bahwa mountaineering bukan sekedar matematika. Sharp pernah gagal dua kali dalam dua tahun dan terakhir bersumpah untuk tidak akan kembali lagi. Pioner Everest George Mallory-yang juga seorang guru mengalami kegagalan dua kali dalam dua tahun dan juga berikrar tidak akan kembali. Namun Mallory memutuskan kembali dan itu menjadi usahanya yang terakhir. Di tahun 1924 ia mendaki bersama partner-nya Sandy Irvine dengan mengabaikan semua perhitungan logis. Irvine tidak pernah terlihat kembali hingga mayatnya ditemukan tahun 1999 tak jauh dari mayat Sharp saat ini berada. Tentu saja David Sharp mengetahui cerita legenda Everest ini yang menjadi salah satu godaan bagi para pendaki dimanapun –sejalan dengan kesukaannya akan tantangan, keinginan untuk membuktikan diri, dan keputusan untuk melakukannya sendirian.

Brice bertemu dengan kedua orangtua Sharp di London pada bulan Juni lalu untuk mengembalikan barang-barang pribadi milik putra mereka. Sesuai dengan permintaan orangtua Sharp, Brice mendonasikan barang-barang lain kepada penduduk Tibet.
Mereka juga berterimakasih kepada Brice karena, “tidak menempatkan orang lain dalam bahaya untuk menyelamatkan anaknya”.

Kembali di Mt Everest dimana kini terbaring mayat Sharp tak jauh dari rute pendakian, bersebelahan dengan pendaki dari India dengan sepatu boots hijaunya. Jamie McGuiness yang melewati tempat itu beberapa hari setelah kematian Sharp mengenali Sharp dari baju dan rucksak-nya. “Aku mencoba menarik ransel yang menutupi muka sambil berharap untuk bisa melihatnya.”McGuiness berkata. “Aku hanya menemukan salju disana. Aku menyapu sedikit salju dari mukanya namun kepala Sharp nampak tertekuk ke belakang. Aku tak ingin menggali salju lebih dalam lagi, jadi aku tinggalkan Sharp seperti apa adanya.”

Selesai.

Glosarry :
1. Jendela cuaca atau "weather window" yang artinya kurang lebih
yaitu periode dimana tidak ada angin kencang (jetwind) dengan angin yang
bertiup rendah. Ini merupakan situasi sempurna untuk climbing dengan
ketinggian diatas 8,000m. Sebagian besar kesuksesan yang diraih para
pendaki Everest adalah dilakukan pada jendela cuaca yakni pendakian pada
rentang waktu antara tgl 15 Mei hingga 8 Juni hingga menjelang datangnya
Monsoon (angin kencang musiman) yang menerpa Himalaya (note : untuk
Kachengjunga terjadi pada 6 Juni). Musim pendakian Everest ditetapkan
pemerintah lokal berakhir pada tanggal 1 Juni.
2. Crevasse adalah pecahan yang terjadi pada glasier atau padang salju yang terjadi
karena kecepatan pergerakan glasier.
3. Lord of the Flies (1954) adalah novel terkenal dari peraih Nobel William Golding.
Buku itu menceritakan sekumpulan anak-anak yang terdampar di sebuah pulau ;
yang digambarkan mengalami perubahan dari sebuah kelompok yang beradab
menjadi kelompok yang barbarian (primitif).

Senin, 13 Oktober 2008

Sendiri Di Hutan Belantara

FPTI News, Andri (28) adalah pendaki solo yang kerap melakukan pendakian dan penjelajahan hutan seorang diri. Tidak ada rasa takut sedikitpun meski harus menghadapi kematian, karena ia sangat yakin dengan gaya hidup yang ia lakukan seperti ini tidak dapat memperpanjang dan memperpendek usianya, "Allah punya kuasa" kata Andri dengan nada lembut (Kens).








Seleksi Climber Cilik

FPTI Kabupaten Bogor Perkuat Tim Untuk Hadapi Kejurda

Kelompok Umur Jabar 2008

FPTI News, Hari minggu tanggal 19 Oktober 2008 Pengurus Cabang Fpti Kabupaten Bogor akan melakukan seleksi atlet panjat tebing junior kelahiran tahun 1989 sampai kelahiran tahun 2001. Hal ini dilakukan untuk memperkuat kontingen panjat tebing Kabupaten Bogor pada ajang Kejuaraan Daerah Junior 2008 yang akan diselenggarakan oleh Pengurus Daerah Jawa Barat di wall climbing FPTI Kabupaten Bekasi pada tanggal 24 – 26 Oktober mendatang.

Seleksi ini akan dilangsungkan selama satu hari di wall climbing FPTI Kabupaten Bogor dengan menggunakan sistem kompetisi yang sesungguhnya. Hal tersebut dilakukan agar para atlet junior terbiasa dengan suasana kompetisi, sehingga dapat mengurangi rasa grogi ketika berada di zona kompetisi.

Sederet nama-nama climber cilik yang terdata di catatan Bidang Pembinaan Prestasi FPTI Kabupaten Bogor mulai dihubungi untuk mengikuti seleksi ini. “Sesuai dengan undangan Pengurus Daerah jawa Barat yang akan memperlombakan 6 kelas pada kategori Lead/kesulitan, kita akan mengirimkan minimal 2 orang atlet pada masing-masing kelas, kata Biro Pelatih Cabang FPTI Kabupaten Bogor Kristy wenas”.

Pada Kejuaraan Daerah (Kejurda) Jawa Barat yang dilangsungkan di wall climbing FPTI Kabupaten Bekasi, seperti yang tertera dalam surat nomor 178/Pengda-FPTI/JBR/9.2008 tentang undangan Kejurda kelompok umur hanya mempertandingkan kategori lead/kesulitan saja dengan 6 klasifikasi, yaitu Spider Kid C usia 7-9 tahun, Spider Kid B usia 10-11 tahun, Spider Kid A 12-13 tahun, Youth B usia 14-15 tahun, Youth A 16-17 tahun, dan Junior usia 18-19 tahun.

Kejuaraan Daerah (Kejurda) Jawa Barat Kelompok Umur yang akan dilangsungkan di wall climbing Pengurus Cabang Kabupaten Bekasi adalah upaya Pengurus Daerah FPTI Jawa Barat untuk menjaring para climber junior yang akan dipersiapkan untuk menghadapi Kejuaraan Nasional Junior (Kejurnas) yang akan dilangsungkan di Yogyakarta pada tanggal 20 November 2008 mendatang, (Kens).